Rabu, 14 Desember 2011 0 komentar

Membaca Sastra Indonesia dari Kacamata Orang yang Buta Sastra


Saat pertama kali masuk program studi sastra Indonesia, para mahasiswa pasti ditanya, “Apa itu sastra?” dan “Apa bedanya karya sastra dan bukan karya sastra?”... Lalu, para dosen akan menyuguhkan berbagai karya sastra (baik berupa prosa, puisi, maupun drama) untuk dibaca dan di resume oleh para mahasiswa baru sastra Indonesia. (Kami) sebagai (anak-anak) yang sedikit buta sastra, akan merespon berbagai bacaan itu dengan berbagai sudut pandang. Pertama kali membaca Saman karya Ayu Utami misalnya, yang ada dalam pikiran adalah rasa khawatir dan takut untuk membaca karya yang dinilai memuat kata-kata yang selama ini dikonvensikan “tabu” oleh masyarakat kita. Ketika membaca puisi-puisi Sutardji, (kami) pun merasakan perasaan-perasaan aneh yang memenuhi tanda tanya dalam otak (kami). Apakah ini yang disebut puisi? Pertanyaan tersebut muncul karena (kami) tidak paham akan definisi dan indikator sesuatu yang bagaimana yang dapat dikatakan sebagai puisi? Hingga akhirnya (kami) baru mendapatkan jawabannya pada bangku semester dua pada mata kuliah Telaah Puisi.
               Anggapan ketika belajar di sastra Indonesia adalah sama seperti belajar bahasa Indonesia ketika di bangku SMA, adalah anggapan yang harus dihapus dan disingkirkan terlebih dahulu sebelum kita ingin mengenal “Apa itu sastra Indonesia?” Hal ini harus dilakukan untuk menghindari justifikasi terhadap figuritas sastra Indonesia dalam pikiran (kita). Menilai belajar sastra Indonesia adalah hal yang mudah, ternyata tidak sepenuhnya benar. Cobalah untuk membaca karya sastra kanon (karya sastra yang menjadi cerminan pada jamannya). Membaca karyanya saja, terasa tidak bisa membaca hanya dengan mata telanjang dan bekal pengetahuan yang ala kadarnya. Terkadang, kita harus belajar sejarah politik untuk dapat memahami puisi-puisi Rendra. Atau, kita harus belajar buku sejarah kolonial ketika berhadapan dengan novel-novel Pramoedya.
               Membaca saja sulit, apalagi mengkajinya. Oleh karena itu, sungguh tidak layak apabila (ada) orang-orang yang memarjinalkan kajian sastra Indonesia. Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari karya sastra. Sebab, selain mengandung fungsi dulce et utile (bermanfaat dan menghibur), sastra juga dapat berfungsi sebagai dokumen sosial masyarakatnya yang merupakan cerminan semangat jaman pada waktu itu.

Oleh :
Adelia Savitri_Sasindo UA
yang tidak pernah berhenti untuk belajar Sastra 
Senin, 12 Desember 2011 0 komentar

Bulir SemaNGAD Hari Ini

Apapun hasil yang kita peroleh nantinya,,
Jangan membuat kita berhenti,,
Ketika sedang berproses, jangan pernah berhenti,,
teruslah bergerak seperti angin,,
Ketika sudah berada di ujung,,
Apapun hasilnya, tersenyumlah.. Karena..
Sebelum-sebelumnya KITA TIDAK DIAM,,

 
;