Jumat, 18 September 2015 46 komentar

Cerita LPDP Part-4: Wawancara


Ketika wawancara, peserta akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Peserta dengan nomor kelompok wawancara yang sama akan menghadapi interviewer yang sama. Beberapa orang ada yang bilang bahwa peserta dikelompokkan berdasarkan bidang keilmuan yang serumpun. Tapi nampaknya itu tidak terjadi pada saya, karena dalam kelompok saya ada peserta dari pendaftar beasiswa dokter spesialis. Jadi, kita tetap harus bersiap-siap dengan segala kemungkinan yang ada.

Ruangan wawancara merupakan aula luas dengan beberapa meja. Setiap meja sudah diberi nomor sesuai dengan nomor kelompok. Karena saya kelompok 6, ketika masuk ke ruangan wawancara, saya langsung menuju meja nomor 6. Di sana sudah ada 3 orang interviewer (yang pasti ada 1 psikolog dan 2 orang ahli bidang tertentu berpangkat minimal Doktor). Siapa pun interviewer itu, mereka adalah orang-orang yang expert, dan benar-benar bisa mengorek kita adalah tipe orang yang seperti apa. Jadi, jangan coba-coba berbohong di depan mereka.

Saya pun melangkah menuju meja nomor 6 itu dengan senyum secerah mentari pagi (Bagaimana pun saya merasa senang telah berada di tahap ini setelah lika-liku yang saya alami). Kalimat pertama saya, “Permisi, boleh saya duduk?” Ini dapat menunjukkan kesopanan kita di depan interviewer. Psikolog yang berada di sebelah kanan kemudian memperkenalkan dirinya dan 2 orang interviewer lain. Alangkah terkejutnya saya bahwa tak satu pun dari interviewer itu yang merupakan ahli di bidang budaya atau setidaknya bidang sosial. Interviewer kedua Profesor teknik dan Interviewer ketiga Dokter Spesialis.

Lalu percakapan saya dengan interviewer tersebut kurang lebih begini:

I : Ceritakan tentang diri anda, latar belakang keluarga, mau melanjutkan studi ke mana, luar negeri atau dalam negeri, kenapa memilih universitas itu, apa saja yang anda lakukan ketika kuliah, kalau ada prestasi sebutkan prestasinya apa saja, kalau ada kegiatan sosial yang sedang/pernah dilakukan juga ceritakan. Untuk pertanyaan pertama dan kedua nanti, tolong jawab pakai bahasa Inggris ya J

(Baiklah dengan the power of kepepet saya pun alhamdulillah bisa menjawab semua itu dengan speaking english meskipun dengan beberapa ee..ee..ee.. tapi it’s okay lah ya, yang penting bisa ngomong).

Wawancara bisa saja berlangsung 100% bahasa Inggris atau 100% bahasa Indonesia atau 25% bahasa Inggris 75% bahasa Indonesia, sehingga bersiap-siaplah dengan segala kemungkinan yang ada. Bila perlu, kita memang harus latihan wawancara bilingual dengan teman yang mahir berbahasa Inggris, atau pun berlatih sendiri di depan cermin.

I: Jelaskan bagaimana kemampuanmu membagi waktu antara organisasi dan studi, karena kegiatan kemahasiswaanmu kan banyak, tapi IPK mu tetap bagus.

(Interviewer berganti ke Profesor yang ada di sebelah psikolog. Nah, yang ini agak horor) Kurang lebih rentetan pertanyaan Profesor itu begini:

I: Skripsi kamu meneliti militerisme dalam novel, terus manfaatnya penelitian skripsimu bagi masyarakat apa ya? (setelah saya jelaskan panjang lebar, lalu beliau mendalami rancangan tesis saya)

Oh begitu, lalu untuk tesis nanti kamu mau neliti apa? Militerisme lagi? Atau beda? (setelah saya singgung sedikit seperti yang saya tulis di rencana studi, beliau bertanya lagi)

Kenapa kamu mau neliti novel-novel itu dan nanti manfaatnya apa ya? Maaf ya mbak, saya masih kurang mengerti penelitian sastra itu gunanya untuk apa ya? (Apapun yang terjadi, dalam pikiran saya this is just a test! Jadi, janganlah terpancing untuk mengeluarkan sisi emosional (baik itu sedih ataupun marah) di hadapan interviewer. Karena setiap kita menjawab pertanyaan dari para interviewer lain, sang psikolog tetap memperhatikan setiap jawaban kita, cara kita menjawabnya, dan kematangan emosional kita juga dinilai). Saya pun menjawab pertanyaan itu seperti ini:

Begini pak J, produk penelitian sastra berbeda dengan produk penelitian sains dan teknologi, karena produk penelitian sastra adalah pemikiran, yang tidak empiris dan tidak konkret. Penelitian sastra dapat memberikan perspektif baru terhadap kondisi sosial yang sedang terjadi, karena objek penelitiannya adalah karya sastra, dan karya sastra sendiri merupakan refleksi kritis pengarang terhadap kondisi sosial di lingkungannya. Bentuk refleksi itu bisa berupa kritik, dukungan, atau tawaran solusi. Dan untuk melihat dampaknya bagi masyarakat, kita tidak bisa melihat dampak itu secara langsung, harus melalui proses. Karena untuk menerima pemikiran baru, masyarakat tentunya butuh proses internalisasi terhadap nilai-nilai baru itu, dan mereka bisa menolak maupun menerimanya. Karya sastra yang baik adalah karya yang kaya nilai-nilai pembangunan karakter, penelitian sastra fungsinya adalah untuk membantu masyarakat memahami kandungan nilai-nilai dalam karya sastra itu, sehingga terjadi proses pembangunan karakter dalam masyarakat. Tak lupa saya memberikan contoh-contoh karya sastra yang membawa pengaruh perubahan sosial, seperti karya-karya Pramoedya, Ayu Utami, Rendra, Chairil Anwar. Hal ini untuk memberikan pemahaman, bahwa membaca karya sastra tentu ada manfaatnya sehingga meneliti sastra pun ada gunanya.

Melihat ketiga interviewer manggut-manggut dengan jawaban saya itu, rasanya seperti ada angin sejuk yang berhembus di atas ubun-ubun, lalu turun ke jantung, dan menurunkan kecepatan dag-dig-dug yang saya rasakan sejak awal.

lalu pertanyaan berlanjut:

Kamu sudah diterima di UI ya? Nanti di UI ada tidak, dosen yang ahli di bidang tesis kamu ini? Sudah pernah kontak dengan dosen-dosen di sana belum? Belum ya? (Profesor ini gayanya tidak mencetuskan satu pertanyaan, tunggu dijawab, baru tanya lagi. Bukan model begitu, tapi pertanyaannya grosiran kayak gitu sehingga saya harus nunggu beliau benar-benar berhenti, baru saya menjawabnya)

Oh gitu ya. Terus, nanti setelah selesai S2, mau kerja jadi apa? (setelah saya jawab bahwa saya ingin menjadi dosen sastra) Mau jadi dosen di mana? Di Universitas asalmu? (saya jawab: di Universitas mana pun yang membutuhkan keahlian saya, bagi saya yang terpenting adalah bisa mengamalkan ilmu saya)

Belum selesai saya bicara, langsung dipotong pertanyaan lebih lanjut: Emangnya di Universitas asalmu tidak butuh dosen sastra? Emangnya jumlah dosen sastra di situ berapa? Jumlah mahasiswanya berapa? (Setelah saya jawab, kenapa saya tidak “mengharuskan” diri untuk mengajar di universitas asal saya, peluang-peluang yang ada di sana, perbandingan jumlah dosen dan mahasiswanya, baru lah interviewer dapat memahami jawaban saya sebelumnya). Pertanyaanpun berlanjut:

Kamu lulus tahun 2014, lalu kenapa baru mendaftar periode 2015 ini? Apa saja yang kamu lakukan selama rentan waktu itu? (Saya menjelaskan hambatan-hambatan yang telah saya lalui ketika akan mendaftar beasiswa ini). Dan saya ditanya: Apa yang membuat kamu bertahan untuk terus mendaftar? Karena saya punya mimpi, dan saya tidak ingin menunda untuk mengejar mimpi itu.

Setelah interviewer kedua merasa cukup, lanjut ke interviewer ketiga yang lebih banyak menanyakan tentang kegiatan organisasi yang saya ikuti, kegiatan sosial yang pernah dan sedang saya lakukan saat ini, saya dibayar atau tidak ketika melakukan kegiatan itu, dan apakah saya mengikuti organisasi mahasiswa eksternal lainnya atau tidak.

Nampaknya, ketiga interviewer memang sudah mempunyai peran yang berbeda untuk menggali diri kita. Sang psikolog bertugas mengorek tentang kepribadian sambil mengamati kita ketika wawancara berlangsung. 1 interviewer yang fokusnya di bagian studi, tesis, penelitian, hal-hal yang berhubungan dengan studi, dan kontribusi kita nanti setelah lulus. Dan 1 interviewer yang lain fokusnya di bagian kegiatan sosial atau organisasi yang pernah ikuti.

Namun berdasarkan hasil bincang-bincang dengan peserta-peserta lainnya, ada juga yang tidak banyak ditanya tentang tesisnya. Ada yang wawancaranya penuh dengan canda-tawa. Ada yang lebih horor dari saya, bahkan peserta lain ada yang ke luar dari ruang wawancara dengan mata berkaca-kaca dan mengeluh aduuuh teesiskuu atau aduuh disertasikuu, mati aku.. Ada juga yang hanya ditanya-tanya tentang keluarganya dan hal-hal pribadi lainnya. Ada peserta yang disuruh baca pembukaan UUD ’45. Ada juga yang diajak curhat sama interviewernya. Semuanya tergantung pada interviewer masing-masing. Apapun yang kita hadapi, kita harus senantiasa optimis, percaya diri, dan yakin selama niat kita benar-benar tulus dan baik, pasti akan ada kemudahan demi kemudahan. Jika kita sudah merasa ciut di awal, hal itu hanyalah berdampak buruk bagi diri kita. Tunjukkan bahwa kita adalah orang yang mereka cari. Karena sekali lagi, yang saya tau LPDP tidak menentukan batas kuota berapa jumlah peserta yang diterima setiap periodenya. Selama kita layak, kita akan lulus.

Dan alhamdulillah, setelah melewati perjalanan panjang itu.. setelah banyak yang bertanya, jadi nggak S2? Katanya udah ketrima UI, kapan berangkat? Dan sebelumnya saya hanya bisa menjawab, belum tau masih nunggu beasiswa. Sekarang saya bisa jawab, Iyaa. Jadi. Saya sudah dapat beasiswa. J    
16 komentar

Cerita LPDP Part-3: Seleksi On the Spot Essay Writing dan LGD


Setelah kita lulus tahap seleksi administratif, tiba saatnya menghadapi tantangan selanjutnya di seleksi substansif yang terdiri dari On the Spot Essay Writing, Leaderless Group Discussion (LGD), dan Wawancara. Kita akan diberitahu apa saja yang harus dibawa ketika seleksi pada tahap ini, jadwal dan tempat pelaksanaan, semuanya akan diberitahu via email oleh LPDP. Ada peserta yang mendapat jadwal LGD, penulisan esai, dan wawancara dalam satu hari, ada juga yang dua hari. Saya termasuk mendapat jadwal dua hari. Hari pertama adalah penulisan esai dan LGD, lalu hari kedua barulah wawancara.

Sebelum wawancara setiap peserta wajib melakukan verifikasi dokumen. Dokumen yang diverifikasi adalah dokumen-dokumen yang kita upload ketika mengisi pendaftaran online. Semua dokumen yang akan diverifikasi haruslah dokumen asli, bukan hasil scan/fotokopi, dan beberapa dokumen seperti surat pernyataan, surat rekomendasi, dan surat izin atasan (bagi yang sudah bekerja) harus benar-benar sesuai dengan format yang ditentukan LPDP seperti yang dicontohkan di Buku Panduan (booklet). Jika kita mendapat jadwal verifikasi dokumen yang waktunya berdekatan atau beririsan dengan jadwal penulisan esai dan LGD, panitia memperbolehkan peserta untuk mengikuti penulisan esai dan LGD terlebih dahulu. Setelah LGD, baru lah kita melakukan verifikasi dokumen. 

Di hari pertama, saya mendapat jadwal Penulisan esai pukul 14.40-15.10 dan LGD 15.50-16.40. Kalau bisa kita datang minimal 2 jam lebih awal dari jadwal. Karena jadwal yang tertulis untuk kita bisa jadi maju atau bahkan mundur. Bahkan peserta yang kelompok LGD nya sama dengan saya, banyak yang datang mulai dari pagi. Saya datang sekitar pukul 11.00 karena memang tidak ada jadwal di pagi hari. Gunakan jeda waktu yang panjang itu untuk berkenalan, mencari teman sebanyak-banyaknya, dan siapa tau kita bisa belajar dari pengalaman mereka. Janganlah menganggap peserta lain sebagai musuh, karena yang saya tau dari cerita para awardee, LPDP tidak memberikan batas kuota tertentu. Selama kita adalah orang yang layak dan sesuai dengan kriteria LPDP, kita akan lolos. Jadi, kita hanya bersaing dengan diri kita sendiri.

On the Spot Essay Writing

Tes penulisan esai on the spot merupakan tes yang baru ada di periode 3 kemarin. Saya mendapat jadwal tes ini sebelum LGD dan wawancara. Jauh-jauh hari sebelum tau jadwal seleksi substansif ini, saya sempat “belajar” mengenai wacana yang sedang hangat atau yang pernah menjadi headline beberapa waktu lalu. Dalam On the Spot Essay Writing ini, para peserta akan memasuki sebuah ruangan dengan beberapa bangku yang ditata agak berjauhan.

Panitia akan membagikan selembar kertas untuk menulis esai dan selembar soal. Perhatikan dan baca baik-baik petunjuk pengerjaan yang ada di soal tersebut. Setiap soal mempunyai kode. Namun dalam satu ruangan seluruh peserta mendapat kode soal yang sama. Ketika itu saya mendapat kode E. Ada juga peserta yang mendapat kode H. Artinya, LPDP sudah menyiapkan banyak tipe soal. Sepertinya, peserta yang mendapat jadwal esai di hari yang sama tidak akan ada yang mendapat kode soal yang sama, mungkin untuk menghindari kebocoran dari obrolan antarpeserta.

Setiap soal terdiri dari 2 nomor  pertanyaan dan peserta tidak harus menjawab keduanya, tapi hanya memilih salah satu. Masing-masing pertanyaan mempunyai ulasan singkat sebanyak satu paragraf pendek. Waktu yang diberikan kepada peserta untuk menulis esai adalah 30 menit (sudah termasuk membaca soal).

Pertanyaan yang ada dalam soal-soal itu biasanya berhubungan dengan wacana terhangat saat ini ataupun yang pernah booming beberapa waktu sebelumnya. Ketika seleksi kemarin, tema yang saya dapat untuk penulisan esai ini adalah mengenai (1) revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi dan (2) bonus demografi; sebuah tantangan ataukah bencana? Saya memilih untuk mengerjakan tema yang kedua.

Selain itu, ada beberapa peserta juga yang mendapat soal tentang kekerasan anak di Indonesia, hukuman mati bagi terpidana narkoba, dsb.  

Kriteria yang dinilai dalam tes penulisan esai ini adalah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, ide/gagasan/solusi yang kita tulis, dan keselarasan antarparagraf. Dalam membuat esai, alangkah baiknya jika ada paragraf pembuka yang bersifat pengantar, paragraf-paragraf inti yang berisi pendapat kita mengenai tema yang kita pilih itu, lalu terakhir simpulan. Panitia tidak memberi batasan tertentu untuk menulis esai. Jadi, seberapa panjang atau pendek esai ini terserah peserta masing-masing, yang terpenting ide yang kita tulis tersampaikan semua dan dapat selesai dalam waktu yang ditentukan (30 menit).  

Sebelum mengikuti On the Spot Essay Writing, ada baiknya jika kita berlatih menulis dengan tema-tema isu terhangat yang sedang terjadi. Berlatih dengan menggunakan stopwatch juga bisa membantu. Sebelum tes, saya sering berkunjung ke portal berita online untuk sekadar membaca berita-berita yang pernah nge-hits.  

Leaderless Group Discussion (LGD)

Setelah melewati seleksi penulisan esai, 30 menit kemudian saya langsung mengikuti LGD. Penulisan esai dan LGD biasanya merupakan satu rangkaian. Peserta dengan ruangan yang sama ketika penulisan esai, kemudian akan dibagi menjadi dua kelompok untuk mengikuti LGD. Kelompok saya terdiri dari 7 orang. Sebelum memasuki ruangan LGD, kami sempat berkenalan dan berunding siapa yang akan menjadi moderator. Awalnya di antara anggota kelompok saya saling diam, akhirnya ya sudahlah, saya merelakan diri menjadi moderator. Entah kenapa mungkin menurut sebagian orang ada ketakutan ketika jadi moderator nantinya takut tidak bisa bebas bicara mengutarakan ide. Tapi menurut saya, hal itu tergantung pada diri kita sendiri. Ketika itu saya jadi moderator, buktinya ya saya lolos lolos saja.  

Karena dalam LGD ini, sebenarnya yang ingin coba dilihat oleh psikolognya adalah cara kita berkomunikasi di depan oranglain, bagaimana cara kita mengutarakan pendapat, menghargai pendapat oranglain, dan bagaimana kita mengendalikan emosi, juga ego masing-masing.

Di ruangan LGD, peserta duduk melingkar dan ada 2 orang psikolog yang menerangkan bahwa kita mempunyai waktu 40 menit untuk berdiskusi dan membaca sebuah artikel. Setelah itu, mekanisme jalannya LGD diserahkan sepenuhnya pada peserta. Sebagai moderator, saya berkewajiban membuka forum. Sebelumnya, kelompok saya sepakat untuk bicara bergiliran sesuai urutan duduk dalam lingkaran itu, sehingga semua orang mendapat jatah bicara yang rata.

Ketika jadi moderator, sebaiknya kita jangan hanya mempersilahkan anggota kelompok untuk bicara, tetapi paling tidak kita pun ikut menanggapi sedikit tentang pendapat dari masing-masing anggota atau pun merespon pendapat tersebut, sambil mengeluarkan kalimat-kalimat cantik seperti, “Baik, terima kasih,  menarik sekali ya pendapat dari mbak C ini... dan menurut data yang saya tau, ada kasus ...bla-blabla juga ya”. atau “terima kasih B atas pendapatnya, apakah ada pendapat lain?” Ya kira-kira seperti itu. Tapi jangan terlalu mendominasi juga. Karena orang yang ingin terlihat hebat/ terlalu mendominasi sehingga memberikan sedikit kesempatan bicara bagi yang lain akan sangat bernilai buruk di mata psikolog.

Tema LGD kelompok saya waktu itu termasuk tema yang cukup general untuk dipahami orang-orang dari beragam profesi (karena anggota kelompok kita tentunya berasal dari berbagai bidang), yaitu “Gadget bagi Anak-anak, Perlukah?”.

Selain itu, ada beberapa tema LGD yang saya tahu ketika bertanya dari peserta-peserta lain, yaitu:
  1. Kasus perbudakan WNA di daerah perairan Indonesia
  2.  Perampasan aset bandar narkoba terkait efektivitas pemberantasan narkoba
  3.  Undang-Undang Penumbuhan Budi Pekerti non kurikuler di sekolah-sekolah
  4. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap meja hijau
  5. Ekspor vs Impor bahan pangan
  6. Penanggulangan kenaikan harga-harga
  7. Gojek vs Ojek Pangkalan


Tema-tema LGD yang saya tahu di periode 3 kemarin sekitar itu. Jadi, pelajari saja hal-hal yang menjadi isu nasional. Sebab jika kita tidak punya pengetahuan apa pun, tentunya akan jadi kikuk dan terlalu pasif ketika LGD. Berdasarkan pengalaman, kesiapan kita menghadapi LGD bisa  memengaruhi psikis. Tapi, apapun tema yang kita hadapi ketika itu, tetaplah percaya diri dan optimistis. Setelah melewati penulisan esai dan LGD di hari pertama, tibalah seleksi wawancara di hari berikutnya (Bersambung ke Cerita LPDP Part-4).
6 komentar

Cerita LPDP Part-2


Di bagian ini saya hanya ingin menceritakan poin-poin apa saja yang harus ada dalam Rencana Studi, Esai Sukses Terbesar, dan Esai Kontribusiku bagi Indonesia. Sebelumnya saya mohon maaf  tidak bisa meng-upload di sini esai yang saya buat untuk mendaftar LPDP periode lalu, karena tentu saya tidak bisa mengontrol pemanfaatannya. Saya harap teman-teman bisa mengerti yaa, hehehe..   

Esai 1 Kontribusiku bagi Indonesia: kontribusi yang telah, sedang, dan akan saya lakukan untuk masyarakat / lembaga / instansi / profesi komunitas saya
Dalam esai ini saya menceritakan pengalaman mengajar sastra yang pernah saya lakukan di sebuah yayasan yang menampung anak yatim-piatu dan dhuafa. Saya menjelaskan bahwa melalui pengajaran sastra tersebut dapat membawa dampak positif berupa pembangunan karakter bagi anak-anak dan penguatan nilai-nilai moral dengan cara yang menyenangkan (bukan doktrin). Bermula dari pengalaman ini, saya menjelaskan peran saya nantinya yang lebih besar melalui bidang sastra dalam membangun Indonesia.

Berhubung bidang sastra di Indonesia nampaknya masih mengalami “kekosongan” dan tidak banyak orang yang mengerti bahwa sastra tidak sekadar lautan kata-kata indah yang susah dimengerti, maka saya harus menjelaskan terlebih dahulu tentang peran dan fungsi sastra bagi masyarakat dan apa pengaruhnya untuk kemajuan sebuah negara. Setelah menjelaskan secukupnya (karena esai ini dibatasi 500—700 kata) bahwa sastra juga mempunyai peran penting dalam memajukan Indonesia dan kebutuhan terhadap pengajar sastra, barulah saya dapat berbicara tentang peran saya yaitu sebagai pengajar sastra/dosen sastra.

Saya juga menjelaskan apa saja yang akan saya lakukan ketika saya menjadi pengajar sastra. Hal tersebut merupakan hasil observasi dan pengalaman saya selama empat tahun berada di lingkungan akademik ilmu sastra. Saya membagi fokus peran saya menjadi dua: pertama, pengajaran sastra dalam lingkungan akademik; kedua, pengajaran sastra untuk anak-anak yatim-piatu, dhuafa, dan anak-anak jalanan karena mereka hidup di lingkungan yang lebih keras dibandingkan anak-anak pada umumnya, maka perlu adanya penguatan nilai-nilai karakter untuk mereka. Salah satu media penguatan nilai-nilai karakter itu dapat diwujudkan melalui pengajaran sastra.

Intinya adalah tulislah apapun keinginan dan mimpi kita secara realistis untuk membangun Indonesia melalui bidang kita itu. Karena mimpi itulah, kita butuh melanjutkan studi. Mimpi itu tidak perlu terlalu jauh-tinggi-di-langit, yang penting bisa realistis untuk kita lakukan-wujudkan-dan berguna bagi masyarakat.

Esai 2 Sukses Terbesar dalam Hidup
Esai ini merupakan esai yang paling mudah dibuat karena kita tinggal bercerita tentang pengalaman hidup kita. Dalam esai ini, saya mengawali dengan membuat definisi sukses menurut saya. Di esai ini tantangannya adalah bagaimana kita dapat menceritakan segala pengalaman berharga dan pencapaian tertinggi yang pernah kita raih dengan cara yang tetap rendah hati. Panjang esai ini juga dibatasi 500—700 kata.  

Rencana Studi
Sebelum kita menentukan mau melanjutkan studi ke mana, selain berbekal informasi dari website universitas tujuan kita, ada baiknya kita juga mempunyai buku profil dari universitas tersebut. Beberapa universitas menyediakannya dalam bentuk pdf yang bisa kita download. Hal ini berguna untuk menambah wawasan kita terhadap keunggulan-keunggulan apa saja yang dimiliki universitas ini dibandingkan dengan universitas lain sehingga itulah yang menjadi alasan bagi kita untuk melanjutkan studi di situ, peringkat universitas tersebut dalam QS.World Rankings, kurikulum program studi kita di universitas tersebut, dosen-dosen pengajarnya, dan semakin banyak yang kita tahu tentang universitas tujuan dan program studi kita di situ, akan semakin baik.

Dalam rencana studi, kita diwajibkan menulis antara 500—700 kata. Hal itu sudah termasuk rancangan tesis yang harus kita jelaskan di dalamnya. Awalnya saya menjelaskan universitas tujuan saya, yaitu ke UI. Sedikit uraian kenapa ingin melanjutkan magister ilmu susastra di UI. Dilanjutkan dengan menyebutkan mata kuliah apa saja yang akan saya ambil mulai dari semester 1—4 beserta jumlah sks-nya. Setelah itu kita juga harus menulis: selain kuliah, kegiatan apa saja yang akan kita lakukan selama melanjutkan studi dan apa manfaat dari kegiatan itu.

Masuk ke rancangan tesis, di sini saya melakukan diskusi dengan beberapa dosen sebelum menulisnya, melakukan revisi beberapa kali, konsultasi ke dosen lagi, hingga akhirnya benar-benar fix. Proses yang saya butuhkan untuk menulis rencana studi (terutama di bagian rancangan tesis ini) sekitar 5-6 bulan. Menurut saran dari dosen saya, di rancangan tesis ini kalau bisa tidak hanya menulis tentang topik yang akan diteliti. Akhirnya saya menulis rencana judul tesis, objek penelitian saya apa, fokus masalah yang mau diteliti apa, kenapa meneliti masalah itu, luaran yang diharapkan dari penelitian tesis ini apa, dan terakhir apa manfaat penelitian ini bagi masyarakat. Kalau bisa ada benang merah antara manfaat penelitian dengan peran kita dalam berkontribusi bagi Indonesia di Esai 1.
Semua itu hanya saya tulis singkat-singkat dalam beberapa paragraf dan saya buat mengalir (karena tulisan rencana studi maksimal hanya boleh 700 kata sudah termasuk uraian matakuliah yang akan diambil+rancangan tesis). 
57 komentar

Cerita LPDP Part-1


HaaloOo.. cerita ini ditulis karena terinspirasi dari beberapa teman terdekat yang banyak bertanya tentang bagaimana pengalaman ketika mengikuti seleksi Beasiswa LPDP. Selain itu, tulisan ini juga semacam bentuk balas budi. Kenapa? Karena sebelum mengikuti proses seleksi yang menyita waktu-tenaga-pikiran-perasaan, saya pun rajin berselancar dengan mbah-gugel untuk membaca tips dan pengalaman para Awardee LPDP di blog mereka. Hal itu menjadi bekal “amunisi” yang cukup ampuh dalam menghadapi “perang” menaklukkan beasiswa ini. Bagi teman-teman yang belum banyak tau tentang apa itu beasiswa LPDP? Apa saja keistimewaan yang dimiliki beasiswa LPDP?, kapan saja periode pendaftarannya?, apa saja syarat-syarat lengkapnya? Semuanya bisa dibaca secara saksama di booklet (Buku Panduan Beasiswa LPDP) 2015 yang bisa diunduh dari link berikut: www.beasiswa.lpdp.kemenkeu.go.id Semua yang saya tulis merupakan hasil dari pengalaman saya pribadi, karena sistem dan dokumen-dokumen syarat LPDP dapat saja berubah/bertambah sewaktu-waktu sesuai dengan kebijakan LPDP di setiap periode pendaftarannya.


Cerita LPDP Part-1: Awal Perjalanan Sebelum Mendaftar (Sayang kalau tidak diceritakan)

Target untuk melanjutkan studi S-2 sudah ada dalam pikiran sejak saya tenggelam dalam lautan skripsi. Awalnya sempat ragu-ragu karena tidak ada biaya untuk S-2, selain itu beberapa beasiswa jarang yang menyediakan kesempatan untuk membiayai kuliah magister di bidang ilmu sastra/budaya (kebanyakan untuk bidang sains dan teknik, melas banget ya? kok kayaknya bidang ilmu saya kasta-nya rendah banget di tengah ilmu-ilmu lainnya).
Untungnya karena cukup banyak cangkruk dengan teman-teman yang luar biasa dan juga dari beberapa dosen, saya mendapat informasi tentang beasiswa LPDP yang akan membiayai seluruh biaya kuliah+biaya hidup, dan yang Pualing Puenting mau menerima studi bidang seni,budaya,bahasa. Setelah dapat informasi itu, saya langsung googling dan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang LPDP, bergabung dengan FB-twitter-instagram LPDP, dan bahkan akhirnya nemu beberapa alumni yang juga awardee LPDP (tentu saja mereka langsung saya berondong dengan berbagai macam pertanyaan). Saya mendata dokumen-dokumen apa saja yang harus mulai dipersiapkan untuk bisa mendaftar, seperti:

1.      Ijazah;
2.      Transkrip Nilai;
3.      Rencana Studi;
4.      Surat Pernyataan sesuai format LPDP;
5.      Surat Rekomendasi dari Tokoh Masyarakat sesuai format LPDP;
6.      Surat Izin Belajar dari Atasan sesuai format LPDP (bagi yang sudah bekerja);
7.      Letter of Acceptance (LoA)/Surat Keterangan Diterima di Universitas baik itu LoA Conditional (sudah diterima tapi masih ada syarat tertentu untuk bisa masuk kuliah) ataupun LoA Unconditional (sudah diterima dan tanpa syarat tertentu; tinggal masuk kuliah). Untuk upload LoA ketika mendaftar sifatnya sunnah, jadi kalau belum punya LoA juga boleh mendaftar;
8.      Sertifikat Toefl-ITP/iBT/TOEIC/IELTS (standar nilai minimal dan konversi nilai bisa dilihat di Buku Panduan Beasiswa LPDP);
9.      Surat Berbadan Sehat dan Bebas Narkoba yang diperoleh dari Rumah Sakit milik Pemerintah (Bagi yang mau studi ke luar negeri harus ditambahkan Surat Bebas TBC);
10.   Formulir Pendaftaran yang bisa kita isi secara online setelah membuat akun di www.beasiswa.lpdp.kemenkeu.go.id
11.   Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang akan dibawa ketika kita wawancara.
12.   Esai Sukses Terbesar dalam Hidupku;
13.   Esai Kontribusiku untuk Indonesia (Apa yang sedang, sudah, dan akan kamu lakukan untuk komunitas/lembaga/masyarakat).   

Hal pertama yang saya lakukan adalah membuat akun di web LPDP. Mengisi kapan rencana intake kuliah, mendaftar beasiswa magister ataukah doktoral, mau studi di dalam negeri atau ke luar negeri, dst. Saya ingin melanjutkan studi magister jurusan Ilmu Susastra di Universitas Indonesia (UI). Universitas tujuan yang kita bidik sebaiknya merupakan Universitas yang ada dalam daftar LPDP, tetapi apabila universitas tujuan kita tidak ada dalam list LPDP dan kita mempunyai rekomendasi ataupun keterangan bahwa univ tersebut memang bagus dalam konsentrasi studi kita, LPDP akan memperbolehkan. Setelah mengisi ini-itu untuk kelengkapan data diri kita, baru lah masuk ke pengisian formulir beasiswa.

Data-data yang kita input dalam formulir beasiswa sebaiknya dapat dipertanggungjawabkan ke-valid-an-nya dan dapat dibuktikan dengan dokumen-dokumen penunjang seperti sertifikat prestasi, surat tugas/delegasi, surat keterangan, atau dokumen sejenisnya. Jangan coba-coba untuk memasukkan informasi fiktif dalam formulir tersebut, karena akan ketahuan ketika seleksi wawancara nanti. Lagipula, jika di awal sudah dinodai dengan kepalsuan/kecurangan hasilnya nanti akan kurang afdhol. Jadi, lebih baik isi saja dengan jujur, apa adanya, dan tanpa kepalsuan. Ketika menginput data-data dalam formulir, saya sempat tersendat di bagian “Sertifikat Bahasa Asing”. Jieengg..jeengg..jengg... Karena saya ingin melanjutkan studi di dalam negeri, dan dengan bermodal skill bahasa Inggris yang pas-pas-an, Toefl-ITP adalah jenis tes bahasa Inggris yang paling memungkinkan untuk ditaklukkan dibandingkan iBT apalagi IELTS (saya tidak bilang paling mudah ya, hanya paling mungkin bagi saya).

Sertifikat Toefl yang dapat digunakan untuk mendaftar beasiswa LPDP ini adalah sertifikat yang dikeluarkan ETS (untuk sertifikat bahasa Inggris) atau dengan kata lain lembaga yang memiliki standar internasional. Kalau sertifikat bahasa Inggris yang dikeluarkan dari universitas kita sendiri yang digunakan untuk syarat wisuda (di Unair namanya ELPT misalnya), tentu saja tidak bisa digunakan. Standar nilai minimal Toefl-ITP yang diminta LPDP adalah 500 (bagi yang lanjut kuliah di dalam negeri) dan 550 (bagi yang ingin ke luar negeri). Beberapa Pusat Bahasa di Surabaya yang menyediakan tes Toefl-ITP setahu saya adalah Pusat Bahasa Unair di Kampus B, Pusat Bahasa ITS, Pusat Bahasa Unesa, dan UBAYA. Biaya tes di masing-masing tempat tentunya berbeda-beda.
Nah, perjalanan baru dimulai ketika saya mencoba menaklukkan Toefl-ITP ini.

Pertama kali tes Toefl-ITP di Unair pada bulan Oktober 2014. Dengan persiapan yang minim, tentu saja saya gagal mencapai nilai minimal 500 itu. Saya pun berniat lebih sungguh-sungguh dalam belajar dan siap tes di bulan berikutnya (karena kita hanya boleh mengikuti tes Toefl-ITP sebanyak 1x dalam satu bulan). Tes kedua pada bulan November 2014, saya kembali gagal. Tapi kita harus terus berjuang. Belajar dengan teman yang mahir bahasa Inggris, tidur ber-bantal-kan buku toefl yang tebalnya ngalahin kitab suci Sun-gokong, intinya semua usaha sudah saya lakukan (kecuali minta pensilnya didoain Kyai kayak jaman mau Unas SD; tentu saya tidak melakukannya). Singkat cerita, di tes ke-3 (Desember 2014) saya gagal, lalu tes ke-4 (Januari 2015) saya gagal lagi-lagi-dan lagi.

Akhirnya pada Februari 2015, saya berniat untuk mencari guru les Toefl untuk tes ke-5 di bulan Maret 2015. Selama satu bulan peng-gem-bleng-an soal demi soal Toefl saya jalani dengan tabah-ikhlas-dan penuh semangat. Tiba waktunya daftar Toefl-ITP tapi tidak kebagian tempat. Penting diingat, kita memang harus super-extra-cepat dalam mendaftar tes Toefl ITP ini karena biasanya setiap Pusat Bahasa hanya mengadakan tes ini satu bulan dua kali dan kuotanya selalu cepat penuh. Belum lagi, biasanya sertifikat Toefl-ITP dari ETS baru keluar 10 hari setelah kita melaksanakan tes sehingga kita harus benar-benar dapat memperhitungkan jarak waktu kita tes dengan deadline pendaftaran LPDP.

Setelah tes ke-5 (Maret 2015) dan berbekal cukup banyak ilmu daripada sebelumnya, ternyata hasil tes Toefl-ITP saya waktu itu adalah 497. Mengingat 5x kegagalan saya dalam tes tersebut, orangtua saya sempat melarang untuk melanjutkan mendaftar beasiswa ini, yang artinya saya juga harus mengurungkan niat untuk lanjut S2. Tetapi, hati saya berkata bahwa saya harus terus mencoba dan jangan pernah berhenti di tengah jalan (Masa’ menyerah hanya gara-gara selembar sertifikat Toefl? Padahal semua dokumen untuk mendaftar, termasuk riset-riset, rencana studi, esai-esai yang sudah disiapkan sudah jadi). Setelah melalui proses lobi-lobi-manis kepada orangtua, akhirnya yang muncul justru ultimatum: Jika pada tes ke-6 (April 2015) nanti saya tetap gagal, saya harus berhenti dan mengubur niat S2 dalam waktu dekat. Setelah meyakinkan mereka, saya pun mendaftar untuk tes Toefl ke-6 yang tanggal pelaksanaannya berdekatan dengan tes SIMAK-UI pada saat itu. Jadi, saya harus mengikuti tes Toefl-ITP pada pagi hari, dan di siang harinya saya harus berangkat ke Jakarta untuk keesokan harinya mengikuti tes SIMAK-UI. Alhamdulillah, justru pada tes ke-6 itu saya berhasil mencapai nilai lebih dari 500.

Namun, jalan yang saya lalui belum semudah itu. Sertifikat Toefl-ITP yang harusnya bisa segera saya upload untuk memenuhi formulir pendaftaran dan harusnya saya bisa mendaftar di periode 2 th.2015, tetapi akhirnya harus batal daftar lagi karena sertifikat Toefl-ITP waktu itu terlambat dikirim karena masalah teknis dari IIEF Jakarta (pusat perwakilan ETS di Indonesia) Lagi-lagi hanya karena selembar sertifikat Toefl. Tetapi apapun yang terjadi, kita harus bisa menerimanya dengan lapangdada dan ikhlas. Akhirnya saya mendaftar LPDP program magister dalam negeri di periode 3, di mana periode 3 ini ada sistem baru dan juga tambahan tes On The Spot Essay Writing.

Setelah mengisi formulir dan melengkapi upload dokumen-dokumen, akhirnya saya bisa submit. Data-data yang sudah kita submit tidak bisa dihapus maupun dibatalkan. Jadi, jika ada dokumen yang belum lengkap atau kita anggap belum saklek jangan terburu-buru untuk melakukan submit. Saya mengisi formulir ini pun secara bertahap. Selain tersendat karena sertifikat toefl, saya juga melakukan editting beberapa kali untuk “Rencana Studi”, “Esai Sukses Terbesar”, dan “Esai Kontribusiku bagi Indonesia”. Ketiga esai tersebut akan saya ceritakan dalam Cerita LPDP Part-2.

Ketika dokumen-dokumen tersebut telah ter-submit maka secara otomatis langsung disimpan LPDP. Jika terpaksa melakukan submit di hari terakhir deadline, usahakan sebelum pukul 17.00 supaya jika terjadi eror dengan sistemnya, masih bisa menghubungi Humas LPDP via telepon untuk membantu mengatasinya. Jika submit yang kita lakukan sukses, kita akan menerima email notifikasi dari LPDP.  Dokumen-dokumen tersebut kemudian akan diseleksi dalam tahap “Seleksi Administratif”. Ini adalah seleksi tahap I.  

Pihak LPDP biasanya akan memberitahu kita melalui SMS dan email jika kita telah lulus seleksi administratif. Namun, sebelum pengumuman saya selalu rajin mengecek email dan akun LPDP saya terutama di bagian “Status” karena pengumuman apapun biasanya juga diberitahukan di akun kita pada bagian “Status” tersebut. Hanya peserta yang lulus seleksi administratif yang dapat mengikuti seleksi selanjutnya, yaitu seleksi substantif yang terdiri dari On the Spot Essay Writing, LGD, dan Wawancara.        

Nah, ada kejadian ajaib pada akun saya sebelum pengumuman seleksi administratif tiba. Ketika saya mengecek akun, tiba-tiba saja seemuuaa dokumen yang berhasil saya upload dan isian formulir yang berhasil saya input, tiba-tiba musnah. Padahal sebelumnya saya sudah mendapat email notifikasi dari LPDP bahwa submit yang saya lakukan berhasil dan dokumen saya sudah disimpan LPDP. Melihat “Status Pendaftaran” di akun saya yang tiba-tiba berubah menjadi: Anda belum melakukan pendaftaran dan semua dokumen raib begitu saja, di situ saya merasa sedih: cobaan apalagi ini? Dan langsung cuss hubungi humas LPDP. Setelah melalui proses dan negosiasi, akhirnya saya diizinkan untuk men-submit ulang seluruh dokumen yang sebelumnya sudah ter-submit. Alhamdulillah ketika hari pengumuman seleksi administratif tiba, dokumen-dokumen tersebut lulus seleksi tahap I (Bersambung ke Cerita LPDP Part-3). 
Jumat, 06 Januari 2012 0 komentar

Dari Kami untuk Negeri


Negeri Indonesia adalah negeri yang kaya akan Sumber Daya Alam. Negara kepulauan dengan berpuluhan ribu pulau yang masing-masing mempunyai potensi kekayaan alam yang luar biasa. Perairannya menyimpan berbagai kemilau mutiara. Tetapi, apakah pada hari ini, masing-masing penduduknya memiliki kekayaan dan bisa menikmati kekayaan itu? Apakah pada hari ini tidak ada lagi rakyat yang mengeluh kelaparan karena negara ini adalah negara agraris yang sebagian masyarakatnya adalah bertani menghasilkan makanan pokok? Dan apakah sudah tidak ada lagi para pekerja paksa seperti jaman penjajahan kolonial?
Ketika kita membuka mata dan pikiran, melihat dan memahami realitas menyedihkan yang dialami oleh bangsa ini, sungguh tidak wajar bila kita masih merasa negeri ini sedang baik-baik saja. Berpuluhan kali kita merayakan hari kemerdekaan dengan suka cita, padahal banyak sekali orang-orang yang tidakpernah kita ketahui keadaanya, merasa belum pernah merasakan kemerdekaan sesungguhnya bagi diri mereka. Rakyat kelas bawah yang masih bingung memikirkan besok bisa makan atau tidak, para pekerja pabrik yang upahnya bahkan tidak sesuai dengan keringat yang mereka keluarkan. Itu adalah sekelumit contoh realita rakyat negeri ini.
Sebuah film dokumenter karya John Pilger yang menggambarkan sebuah dampak globalisasi, membuat bertambah miris hati kita. Bagaimana tidak, di dalam film itu di tunjukkan bahwa Perusahaan-perusahaan yang memproduksi merk-merk terkenal seperti : GAP, NIKE, dll ternyata membayar  para buruhnya dengan upah yang sangat rendah. Perusahaan besar ini sengaja mencari negara-negara miskin yang memilki SDM yang banyak, kemudian para SDM itu mau untuk dijadikan pekerja, walaupun dengan upah yang sangat minim. Dari hasil produksi sebuah sepatu yang berharga 1,4 juta, mereka hanya mendapatkan bagian 5ribu rupiah per sepatu. Sedangkan dari produksi sebuah boxer yang harganya 112ribu, para buruh ini hanya mendapatkan 500perak per potong. Data ini di dapatkan John Pilger, seorang peneliti dari Australia yang melakukan wawancara dengan beberapa buruh yang bekerja di perusahaan yang menproduksi barang-barang mewah dan elite tersebut. Dan para buruh ini bekerja di bawah sentrongan lampu yang watt-nya tinggi. Mereka tidak boleh lengah sedikitpun, apalagi kalau ada tuntutan barangnya harus di ekspor, para buruh ini bisa bekerja selama 18 -20jam nonstop.
Hal itu adalah sekilas potret penderitaan rakyat ini. Belum lagi potret-potret kerusakan sistem. Seperti politisasi pendidikan, kasus-kasus korupsi, fenomena penyelewengan hukum, dan masih banyak lagi tentunya. Latar belakang ini yang mendorong kami sebagai himpunan bagian dari masyarakat negeri ini untuk ikut bergerak dalam memperbaiki negeri. Dengan mengambil peran dan tindakan yang sesuai dengan kedudukan kami sebagai mahasiswa, kami akan melakukan pergerakan perubahan itu. Memang kami tidak mempunyai kekuatan untuk merubah sistem, tapi kami mempunyai kemauan untuk membangun kekuatan itu.
Kini, kami sedang menempuh pendidikan karir. Dan kami berjanji kami tidak akan menjadi bibit bangsa yang tidak berguna atau bahkan tidak peduli terhadap negeri yang sedang menangis ini. Kami akan menyumbangkan karya-karya terbaik kami untuk negeri ini. Karya-karya yang kami lahirkan sesuai dengan bidang karir yang kami tempuh. Dan karya-karya itu, bukan hanya untuk memperkaya diri kami sendiri, tapi melalui karya itulah bentuk kontribusi kami untuk negeri ini. Semakin banyak bibit unggulnya membuahkan karya-karya besar untuk bangsa ini, maka bangsa ini akan terbangun. Negeri yang besar dan berperadaban maju, adalah negeri yang mempunyai bibit yang mampu menjadi orang-orang besar yang peduli terhadap keadaan bangsanya. Bukan orang-orang besar yang hanya peduli terhadap kebesaran dirinya sendiri.
Kami akan menunjukkan bahwa kami bisa dan mau untuk memulai perjuangan ini. Kami akan menjadi anak-anak bangsa yang mampu bersaing dengan negara lain. Menunjukkan kembali kebesaran negeri ini yang sejarahnya dikenal seluruh dunia. Mengembalikan kejayaan yang pernah diraih oleh Majapahit dan Sriwijaya pada jamannya. Sejarah itu menunjukkan pada kita, bahwa negeri ini punya potensi dan potensi tersebut bisa diwujudkan.
Kami akan menjadi para ahli di bidang kami masing-masing, untuk kemudian bersatu dan membangun negeri. Analoginya adalah seperti apabila kita ingin memperbaiki sebuah kapal yang rusak dan ingin bisa menjalankan kapal tersebut untuk di bawa berkeliling samudra, kita harus memilki beberapa ahli bidang yang di butuhkan,misalnya seperti teknisi kapalnya, ahli nahkodanya, ahli peta dan arahnya, dll. Barulah kapal yang rusak tadi bisa diperbaiki dan dijalankan. Begitu pula sama halnya apabila kita ingin memperbaiki dan kemudian membangun negeri ini. Tanpa ahli, kita akan sulit membangunnya. Apalagi bila hanya melalui jalur underground saja.
Maka dari itu, disini kami berdiri dan berkomitmen, untuk bisa menjadi pemuda yang karirnya berguna untuk membangun masyarakat dan negeri ini. Mengubah paradigma budak yang didoktrinkan pada rakyat sejak jaman penjajahan yang berabad-abad lamanya. Menerapkan sistem keseimbangan di berbagai sektor. Bukan ideologi kapitalis ataupun liberalis, dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Tunggulah karya-karya besar yang akan kami persembahkan hanya untuk padamu negeri. Karena kami tidak hanya menikmati karya-karya orang besar, tetapi kami juga akan selalu belajar bagaimana mesin-mesin pembuat karya itu bekerja, bangunan epistimologinya untuk bisa menghasilkan karya besar. Dari kami untuk negeri. 


Oleh : 
Adelia Savitri_Sasindo UA
yang tidak pernah lelah membangun negeri 

Rabu, 14 Desember 2011 0 komentar

Membaca Sastra Indonesia dari Kacamata Orang yang Buta Sastra


Saat pertama kali masuk program studi sastra Indonesia, para mahasiswa pasti ditanya, “Apa itu sastra?” dan “Apa bedanya karya sastra dan bukan karya sastra?”... Lalu, para dosen akan menyuguhkan berbagai karya sastra (baik berupa prosa, puisi, maupun drama) untuk dibaca dan di resume oleh para mahasiswa baru sastra Indonesia. (Kami) sebagai (anak-anak) yang sedikit buta sastra, akan merespon berbagai bacaan itu dengan berbagai sudut pandang. Pertama kali membaca Saman karya Ayu Utami misalnya, yang ada dalam pikiran adalah rasa khawatir dan takut untuk membaca karya yang dinilai memuat kata-kata yang selama ini dikonvensikan “tabu” oleh masyarakat kita. Ketika membaca puisi-puisi Sutardji, (kami) pun merasakan perasaan-perasaan aneh yang memenuhi tanda tanya dalam otak (kami). Apakah ini yang disebut puisi? Pertanyaan tersebut muncul karena (kami) tidak paham akan definisi dan indikator sesuatu yang bagaimana yang dapat dikatakan sebagai puisi? Hingga akhirnya (kami) baru mendapatkan jawabannya pada bangku semester dua pada mata kuliah Telaah Puisi.
               Anggapan ketika belajar di sastra Indonesia adalah sama seperti belajar bahasa Indonesia ketika di bangku SMA, adalah anggapan yang harus dihapus dan disingkirkan terlebih dahulu sebelum kita ingin mengenal “Apa itu sastra Indonesia?” Hal ini harus dilakukan untuk menghindari justifikasi terhadap figuritas sastra Indonesia dalam pikiran (kita). Menilai belajar sastra Indonesia adalah hal yang mudah, ternyata tidak sepenuhnya benar. Cobalah untuk membaca karya sastra kanon (karya sastra yang menjadi cerminan pada jamannya). Membaca karyanya saja, terasa tidak bisa membaca hanya dengan mata telanjang dan bekal pengetahuan yang ala kadarnya. Terkadang, kita harus belajar sejarah politik untuk dapat memahami puisi-puisi Rendra. Atau, kita harus belajar buku sejarah kolonial ketika berhadapan dengan novel-novel Pramoedya.
               Membaca saja sulit, apalagi mengkajinya. Oleh karena itu, sungguh tidak layak apabila (ada) orang-orang yang memarjinalkan kajian sastra Indonesia. Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari karya sastra. Sebab, selain mengandung fungsi dulce et utile (bermanfaat dan menghibur), sastra juga dapat berfungsi sebagai dokumen sosial masyarakatnya yang merupakan cerminan semangat jaman pada waktu itu.

Oleh :
Adelia Savitri_Sasindo UA
yang tidak pernah berhenti untuk belajar Sastra 
Senin, 12 Desember 2011 0 komentar

Bulir SemaNGAD Hari Ini

Apapun hasil yang kita peroleh nantinya,,
Jangan membuat kita berhenti,,
Ketika sedang berproses, jangan pernah berhenti,,
teruslah bergerak seperti angin,,
Ketika sudah berada di ujung,,
Apapun hasilnya, tersenyumlah.. Karena..
Sebelum-sebelumnya KITA TIDAK DIAM,,

 
;