Ketika
wawancara, peserta akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Peserta dengan nomor
kelompok wawancara yang sama akan menghadapi interviewer yang sama. Beberapa
orang ada yang bilang bahwa peserta dikelompokkan berdasarkan bidang keilmuan
yang serumpun. Tapi nampaknya itu tidak terjadi pada saya, karena dalam
kelompok saya ada peserta dari pendaftar beasiswa dokter spesialis. Jadi, kita
tetap harus bersiap-siap dengan segala kemungkinan yang ada.
Ruangan
wawancara merupakan aula luas dengan beberapa meja. Setiap meja sudah diberi
nomor sesuai dengan nomor kelompok. Karena saya kelompok 6, ketika masuk ke
ruangan wawancara, saya langsung menuju meja nomor 6. Di sana sudah ada 3 orang
interviewer (yang pasti ada 1 psikolog dan 2 orang ahli bidang tertentu
berpangkat minimal Doktor). Siapa pun interviewer itu, mereka adalah
orang-orang yang expert, dan
benar-benar bisa mengorek kita adalah
tipe orang yang seperti apa. Jadi, jangan coba-coba berbohong di depan mereka.
Saya
pun melangkah menuju meja nomor 6 itu dengan senyum secerah mentari pagi (Bagaimana pun saya merasa senang telah berada di tahap ini setelah lika-liku
yang saya alami). Kalimat pertama saya, “Permisi, boleh saya duduk?” Ini dapat menunjukkan kesopanan kita di
depan interviewer. Psikolog yang berada di sebelah kanan kemudian
memperkenalkan dirinya dan 2 orang interviewer lain. Alangkah terkejutnya saya
bahwa tak satu pun dari interviewer itu yang merupakan ahli di bidang budaya
atau setidaknya bidang sosial. Interviewer kedua Profesor teknik dan
Interviewer ketiga Dokter Spesialis.
Lalu
percakapan saya dengan interviewer tersebut kurang lebih begini:
I : Ceritakan tentang diri anda, latar belakang keluarga,
mau melanjutkan studi ke mana, luar negeri atau dalam negeri, kenapa memilih
universitas itu, apa saja yang anda lakukan ketika kuliah, kalau ada prestasi
sebutkan prestasinya apa saja, kalau ada kegiatan sosial yang sedang/pernah
dilakukan juga ceritakan. Untuk pertanyaan pertama dan kedua nanti, tolong
jawab pakai bahasa Inggris ya J
(Baiklah dengan the
power of kepepet saya pun alhamdulillah bisa menjawab semua itu dengan speaking
english meskipun dengan beberapa ee..ee..ee.. tapi it’s okay lah ya, yang
penting bisa ngomong).
Wawancara
bisa saja berlangsung 100% bahasa Inggris atau 100% bahasa Indonesia atau 25%
bahasa Inggris 75% bahasa Indonesia, sehingga bersiap-siaplah dengan segala
kemungkinan yang ada. Bila perlu, kita memang harus latihan wawancara bilingual
dengan teman yang mahir berbahasa Inggris, atau pun berlatih sendiri di depan
cermin.
I:
Jelaskan bagaimana kemampuanmu membagi waktu antara organisasi dan studi,
karena kegiatan kemahasiswaanmu kan banyak, tapi IPK mu tetap bagus.
(Interviewer berganti ke Profesor yang ada di
sebelah psikolog. Nah, yang ini agak
horor) Kurang lebih rentetan pertanyaan Profesor itu begini:
I:
Skripsi kamu meneliti militerisme dalam novel, terus manfaatnya penelitian
skripsimu bagi masyarakat apa ya? (setelah
saya jelaskan panjang lebar, lalu beliau mendalami rancangan tesis saya)
Oh
begitu, lalu untuk tesis nanti kamu mau neliti apa? Militerisme lagi? Atau beda?
(setelah saya singgung sedikit seperti
yang saya tulis di rencana studi, beliau bertanya lagi)
Kenapa
kamu mau neliti novel-novel itu dan nanti manfaatnya apa ya? Maaf ya mbak, saya
masih kurang mengerti penelitian sastra itu gunanya untuk apa ya? (Apapun yang terjadi, dalam pikiran saya this
is just a test! Jadi, janganlah terpancing untuk mengeluarkan sisi emosional
(baik itu sedih ataupun marah) di hadapan interviewer. Karena setiap kita
menjawab pertanyaan dari para interviewer lain, sang psikolog tetap
memperhatikan setiap jawaban kita, cara kita menjawabnya, dan kematangan
emosional kita juga dinilai). Saya pun menjawab pertanyaan itu seperti ini:
Begini
pak J,
produk penelitian sastra berbeda dengan produk penelitian sains dan teknologi,
karena produk penelitian sastra adalah pemikiran, yang tidak empiris dan tidak
konkret. Penelitian sastra dapat memberikan perspektif baru terhadap kondisi
sosial yang sedang terjadi, karena objek penelitiannya adalah karya sastra, dan
karya sastra sendiri merupakan refleksi kritis pengarang terhadap kondisi
sosial di lingkungannya. Bentuk refleksi itu bisa berupa kritik, dukungan, atau
tawaran solusi. Dan untuk melihat dampaknya bagi masyarakat, kita tidak bisa
melihat dampak itu secara langsung, harus melalui proses. Karena untuk menerima
pemikiran baru, masyarakat tentunya butuh proses internalisasi terhadap
nilai-nilai baru itu, dan mereka bisa menolak maupun menerimanya. Karya sastra
yang baik adalah karya yang kaya nilai-nilai pembangunan karakter, penelitian
sastra fungsinya adalah untuk membantu masyarakat memahami kandungan
nilai-nilai dalam karya sastra itu, sehingga terjadi proses pembangunan
karakter dalam masyarakat. Tak lupa saya
memberikan contoh-contoh karya sastra yang membawa pengaruh perubahan sosial,
seperti karya-karya Pramoedya, Ayu Utami, Rendra, Chairil Anwar. Hal ini untuk
memberikan pemahaman, bahwa membaca karya sastra tentu ada manfaatnya sehingga
meneliti sastra pun ada gunanya.
Melihat
ketiga interviewer manggut-manggut dengan jawaban saya itu, rasanya seperti ada
angin sejuk yang berhembus di atas ubun-ubun, lalu turun ke jantung, dan
menurunkan kecepatan dag-dig-dug yang
saya rasakan sejak awal.
lalu
pertanyaan berlanjut:
Kamu
sudah diterima di UI ya? Nanti di UI ada tidak, dosen yang ahli di bidang tesis
kamu ini? Sudah pernah kontak dengan dosen-dosen di sana belum? Belum ya? (Profesor ini gayanya tidak mencetuskan satu
pertanyaan, tunggu dijawab, baru tanya lagi. Bukan model begitu, tapi
pertanyaannya grosiran kayak gitu sehingga saya harus nunggu beliau benar-benar
berhenti, baru saya menjawabnya)
Oh
gitu ya. Terus, nanti setelah selesai S2, mau kerja jadi apa? (setelah saya jawab bahwa saya ingin menjadi
dosen sastra) Mau jadi dosen di mana? Di Universitas asalmu? (saya jawab: di Universitas mana pun yang
membutuhkan keahlian saya, bagi saya yang terpenting adalah bisa mengamalkan
ilmu saya)
Belum
selesai saya bicara, langsung dipotong pertanyaan lebih lanjut: Emangnya di
Universitas asalmu tidak butuh dosen sastra? Emangnya jumlah dosen sastra di
situ berapa? Jumlah mahasiswanya berapa? (Setelah
saya jawab, kenapa saya tidak “mengharuskan” diri untuk mengajar di universitas
asal saya, peluang-peluang yang ada di sana, perbandingan jumlah dosen dan
mahasiswanya, baru lah interviewer dapat memahami jawaban saya sebelumnya). Pertanyaanpun
berlanjut:
Kamu
lulus tahun 2014, lalu kenapa baru mendaftar periode 2015 ini? Apa saja yang
kamu lakukan selama rentan waktu itu? (Saya
menjelaskan hambatan-hambatan yang telah saya lalui ketika akan mendaftar
beasiswa ini). Dan saya ditanya: Apa yang membuat kamu bertahan untuk terus
mendaftar? Karena saya punya mimpi, dan saya
tidak ingin menunda untuk mengejar mimpi itu.
Setelah
interviewer kedua merasa cukup, lanjut ke interviewer ketiga yang lebih banyak
menanyakan tentang kegiatan organisasi yang saya ikuti, kegiatan sosial yang
pernah dan sedang saya lakukan saat ini, saya dibayar atau tidak ketika
melakukan kegiatan itu, dan apakah saya mengikuti organisasi mahasiswa
eksternal lainnya atau tidak.
Nampaknya,
ketiga interviewer memang sudah mempunyai peran yang berbeda untuk menggali
diri kita. Sang psikolog bertugas mengorek
tentang kepribadian sambil mengamati kita ketika wawancara berlangsung. 1
interviewer yang fokusnya di bagian studi, tesis, penelitian, hal-hal yang
berhubungan dengan studi, dan kontribusi kita nanti setelah lulus. Dan 1
interviewer yang lain fokusnya di bagian kegiatan sosial atau organisasi yang
pernah ikuti.
Namun
berdasarkan hasil bincang-bincang dengan peserta-peserta lainnya, ada juga yang
tidak banyak ditanya tentang tesisnya. Ada yang wawancaranya penuh dengan canda-tawa.
Ada yang lebih horor dari saya, bahkan peserta lain ada yang ke luar dari ruang
wawancara dengan mata berkaca-kaca dan mengeluh aduuuh teesiskuu atau aduuh
disertasikuu, mati aku.. Ada juga yang hanya ditanya-tanya tentang
keluarganya dan hal-hal pribadi lainnya. Ada peserta yang disuruh baca pembukaan
UUD ’45. Ada juga yang diajak curhat sama interviewernya. Semuanya tergantung
pada interviewer masing-masing. Apapun yang kita hadapi, kita harus senantiasa
optimis, percaya diri, dan yakin selama niat kita benar-benar tulus dan baik,
pasti akan ada kemudahan demi kemudahan. Jika kita sudah merasa ciut di awal, hal itu hanyalah berdampak
buruk bagi diri kita. Tunjukkan bahwa kita adalah orang yang mereka cari.
Karena sekali lagi, yang saya tau LPDP tidak menentukan batas kuota berapa jumlah
peserta yang diterima setiap periodenya. Selama kita layak, kita akan lulus.
Dan
alhamdulillah, setelah melewati perjalanan panjang itu.. setelah banyak yang
bertanya, jadi nggak S2? Katanya udah ketrima
UI, kapan berangkat? Dan sebelumnya saya hanya bisa menjawab, belum tau masih nunggu beasiswa. Sekarang
saya bisa jawab, Iyaa. Jadi. Saya sudah dapat beasiswa. J