Saat pertama kali masuk program studi sastra
Indonesia, para mahasiswa pasti ditanya, “Apa itu sastra?” dan “Apa bedanya
karya sastra dan bukan karya sastra?”... Lalu, para dosen akan menyuguhkan
berbagai karya sastra (baik berupa prosa, puisi, maupun drama) untuk dibaca dan
di resume oleh para mahasiswa baru sastra Indonesia. (Kami) sebagai (anak-anak)
yang sedikit buta sastra, akan merespon berbagai bacaan itu dengan berbagai
sudut pandang. Pertama kali membaca Saman karya Ayu Utami misalnya, yang ada dalam
pikiran adalah rasa khawatir dan takut untuk membaca karya yang dinilai memuat
kata-kata yang selama ini dikonvensikan “tabu” oleh masyarakat kita. Ketika
membaca puisi-puisi Sutardji, (kami) pun merasakan perasaan-perasaan aneh yang
memenuhi tanda tanya dalam otak (kami). Apakah ini yang disebut puisi?
Pertanyaan tersebut muncul karena (kami) tidak paham akan definisi dan
indikator sesuatu yang bagaimana yang dapat dikatakan sebagai puisi? Hingga
akhirnya (kami) baru mendapatkan jawabannya pada bangku semester dua pada mata
kuliah Telaah Puisi.
Anggapan
ketika belajar di sastra Indonesia adalah sama seperti belajar bahasa Indonesia
ketika di bangku SMA, adalah anggapan yang harus dihapus dan disingkirkan
terlebih dahulu sebelum kita ingin mengenal “Apa itu sastra Indonesia?” Hal ini
harus dilakukan untuk menghindari justifikasi terhadap figuritas sastra
Indonesia dalam pikiran (kita). Menilai belajar sastra Indonesia adalah hal
yang mudah, ternyata tidak sepenuhnya benar. Cobalah untuk membaca karya sastra
kanon (karya sastra yang menjadi cerminan pada jamannya). Membaca karyanya
saja, terasa tidak bisa membaca hanya dengan mata telanjang dan bekal
pengetahuan yang ala kadarnya. Terkadang, kita harus belajar sejarah politik
untuk dapat memahami puisi-puisi Rendra. Atau, kita harus belajar buku sejarah
kolonial ketika berhadapan dengan novel-novel Pramoedya.
Membaca
saja sulit, apalagi mengkajinya. Oleh karena itu, sungguh tidak layak apabila
(ada) orang-orang yang memarjinalkan kajian sastra Indonesia. Kemajuan suatu
bangsa dapat dilihat dari karya sastra. Sebab, selain mengandung fungsi dulce
et utile (bermanfaat dan menghibur), sastra juga dapat berfungsi sebagai
dokumen sosial masyarakatnya yang merupakan cerminan semangat jaman pada waktu
itu.
Oleh :
Adelia Savitri_Sasindo UA
yang tidak
pernah berhenti untuk belajar Sastra